IDPOST.ID – Gelombang protes yang melanda Nepal dan Indonesia dalam pekan-pekan terakhir menjadi perhatian global. Farkhan Evendi, Ketua Umum Bintang Muda Indonesia, menyoroti bahwa kedua krisis ini memiliki akar masalah yang sama: kesenjangan struktural dan represi oleh aparat.
Dalam pernyataan tertulisnya kepada idpost.id, Jumat (12/9/2025), Evendi menegaskan bahwa protes di Nepal bukanlah sekadar kerusuhan spontan, mel mel melainkan sebuah “letupan kontradiksi struktural yang berlangsung panjang.”
“Gen Z memberontak melawan akumulasi kapital oleh elite yang korup, diperparah oleh pengangguran tinggi dan kemiskinan yang masih membelit,” ujar Evendi.
Menurutnya, larangan 26 platform media sosial oleh pemerintah Nepal hanyalah pemicu dari akumulasi kemarahan yang telah lama tertumpuk.
Evendi menyebutkan, dengan PDB per kapita hanya 1.300 dollar AS dan ketergantungan pada remitansi pekerja migran, sementara elite politik menguasai sumber daya melalui korupsi, Nepal menjadi contoh nyata dari kegagalan governance.
Respons Aparat dan Krisis Demokrasi
Terkait respons keamanan di kedua negara, Evendi menyatakan keprihatinan mendalam atas penggunaan kekerasan yang berlebihan oleh aparat.
“Kekerasan aparat dengan pola sistematis adalah upaya negara melindungi kepentingan elite, bukan melindungi rakyat,” tegasnya.
Ia mengutip insiden penembakan dan penahanan massal di Nepal yang menewaskan puluhan orang, serta kematian Affan Kurniawan, driver ojek online yang ditabrak panser polisi di Indonesia.
Evendi juga mengkritik respons pemerintah Indonesia yang dinilai tidak memadai. Meski Presiden Prabowo Subianto telah memangkas tunjangan DPR dan berjanji menyelidiki kematian Affan, label “makar” yang disematkan pada demonstran justru memicu eskalasi lebih lanjut.
Fragmentasi Gerakan dan Perlunya Kepemimpinan Visioner
Meski menyoroti kekuatan solidaritas lintas kelompok dalam protes, Evendi mengingatkan agar momentum tidak terbuang sia-sia akibat fragmentasi.
“Gelombang protes ini, betapapun besar, akan kurang berdampak tanpa soliditas dan kepemimpinan organisasi yang jelas. Demonstrasi yang terfragmentasi rentan dieksploitasi oleh elite atau redam oleh kekerasan,” paparnya.
Evendi menekankan perlunya kepemimpinan visioner yang mampu menjaga momentum, mendorong dialog dengan pemerintah, dan memastikan tuntutan 17+8 tidak hanya menjadi seruan, tetapi terwujud dalam reformasi nyata.
Momen Berbenah bagi Indonesia
Menutup pernyataannya, Evendi menyerukan pentingnya refleksi kolektif bagi bangsa Indonesia.
“Tagar #IndonesiaGelap bukan sekadar slogan, melainkan gambaran demokrasi yang meredup di bawah korupsi, nepotisme, dan kekerasan aparat. Ini saatnya Indonesia berbenah,” serunya.
Ia mendorong seluruh elemen bangsa, terutama partai politik dan pejabat publik, untuk kembali pada tujuan utama melayani kepentingan rakyat, bukan sekadar memperebutkan kekuasaan.
“Hanya dengan keadilan yang terjaga, kesenjangan yang menyempit, dan hukum yang tegak tanpa pandang bulu, visi Indonesia Emas 2045 akan bisa terwujud,” pungkas Farkhan Evendi.