IDPOST.CO.ID – Reaksi negatif muncul dari berbagai kalangan terkait dengan Draf Revisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran yang sedang digodok DPR. Menurut sejumlah kalangan, bahwa revisi UU Penyiaran itu akan membungkam kebebasan pers.
Beberapa pasal dalam RUU Penyiaran disebut membingungkan dan mengancam kebebasan pers, bahkan merugikan publik. Jika ini nanti berhasil, masyarakat hampir pasti hanya akan disuguhkan berita yang isinya seremonial belaka, alih-alih berita yang kritis.
Dalam draf Revisi UU Penyiaran salah satunya yang paling banyak menuai kritik tajam adalah Pasal 56 ayat 2 poin c Dimana isinya melarang penayangan konten eksklusif jurnalistik investigasi.
Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Budi Arie Setiadi mengatakan, bahwa produk jurnalistik investigasi tidak boleh dilarang. Hal itu dianggap mengancam kebebasan pers.
“Jurnalistik harus investigasi, masa harus dilarang ? Jurnalistik itu harus berkembang karena masyarakat juga berkembang,” tegas Budi Arie, Jumat (17/05/2024)
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bayu Wardhana mengatakan draf revisi UU penyiaran yang sedang digodok DPR membingungkan.
“Pasal ini membingungkan. Mengapa ada larangan penayangan eksklusif jurnalistik investigasi? Tersirat ini membatasi agar karya jurnalistik investigasi tidak boleh ditayangkan di penyiaran. Sebuah upaya pembungkaman pers sangat nyata,” kata Bayu.
Peneliti pusat studi media dan komunikasi Remotivi Muhammad Heychael mengatakan Pasal 56 ayat 2 poin C dalam draf revisi UU Penyiaran itu ambigu dan membingungkan.
“Dalam pasal ini dibuat karena ada keinginan untuk mencegah produk-produk jurnalistik tertentu, seperti film dokumenter Dirty Vote yang mengulas tuduhan kecurangan pemilu. Hal ini melawan prinsip jurnalistik,” ujarnya.
Ia beranggapan justru jurnalistik itu bukan hanya harus akurat dan benar, tetapi juga informasi itu harus aktual. Dikhawatirkan hal itu membuat semakin mati ruang publik.
Ketua Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Herik Kurniawan juga mengajak insan pers menolak revisi UU Penyiaran karena dapat mengancam kebebasan pers.
“Saya menilai revisi UU tersebut berpotensi menjadi alat guna membungkam kemerdekaan pers dan kreativitas individu di berbagai platform,” ungkapnya.
Larangan untuk membuat berita investigasi menurut Herik membuat insan pers di dunia penyiaran tidak dapat melahirkan karya jurnalistik berkualitas. Hal tersebut juga dapat mempertumpul pers dalam melakukan kontrol masyarakat terhadap pemerintah.
“Selama karya tersebut memegang teguh kode etik jurnalistik, berdasarkan fakta dan data yang benar, dibuat secara profesional dan semata-mata untuk kepentingan publik maka tidak boleh ada yang melarang karya jurnalistik investigasi disiarkan di televisi,” kata dia.
Hal lain yang juga mendapat kritik dari pegiat media adalah adanya pasal yang memberikan kewenangan sengketa pers khusus di bidang penyiaran oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI).
Menurut dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada Wisnu Prasetya Utomo, aturan ini berpotensi memberikan wewenang terlalu besar kepada KPI dan sekaligus “mengebiri Dewan Pers”. Padahal, sebelumnya sudah ada Dewan Pers yang menangani kasus tersebut,” ungkapnya.
Sementara itu, terkait wewenang KPI dalam mengatur sengketa pers, pengajar jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara Ignatius Hariyanto mengingatkan, bagaimana pun juga KPI adalah bentukan politik, dimana anggota diseleksi oleh para anggota di DPR.
“Sementara Dewan Pers lebih independen karena anggotanya adalah keseimbangan dari organisasi kewartawanan, perusahaan media, dan masyarakat,” pungkasnya.