IDPOST.ID – Pembatalan badan hukum Persaudaraan Setia Hati Terate (PSHT) atau SH Terate oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) pada 1 Juli lalu telah memicu serangkaian langkah hukum yang tegas dari organisasi tersebut.

Tidak terima dengan keputusan yang dianggap sewenang-wenang dan tanpa klarifikasi, SH Terate melalui Lembaga Hukum dan Advokasi (LHA) Pusat, yang dipimpin oleh Kang Mas Mariano, kini tengah berjuang di ranah hukum untuk memulihkan status badan hukum.

Kang Mas Mariano menjelaskan bahwa strategi hukum SH Terate didasarkan pada Undang-Undang Administrasi Nomor 30 Tahun 2014. Langkah awal yang krusial adalah pengajuan keberatan administratif.

“Bila mana ada persoalan yang dilakukan oleh pejabat negara yang diduga kesewenang-wenangan, maka kita mengajukan keberatan sesuai dengan Pasal 75 Undang-Undang 30 Tahun 2014,” terang Kang Mas Mariano.

Surat keberatan ini telah dibuat pada tanggal 16 Juli dan langsung dikirimkan ke sekretariat Kemenkumham pada tanggal 21 Juli.

Pemilihan tanggal ini bukan tanpa alasan, melainkan untuk memenuhi ketentuan Pasal 77 ayat 1 UU Administrasi yang menyatakan bahwa keberatan tidak boleh lebih dari 21 hari sejak keputusan diterima.

Lebih lanjut, SH Terate juga tidak hanya berhenti pada keberatan administratif. Mereka juga telah melaporkan dugaan maladministrasi kepada Ombudsman Republik Indonesia.

Surat laporan ini juga dikirimkan pada tanggal 21 Juli, bersamaan dengan surat keberatan kepada Kemenkumham. Langkah ini menunjukkan upaya komprehensif SH Terate untuk mencari keadilan melalui berbagai jalur hukum yang tersedia.

Salah satu poin penting dalam strategi SH Terate adalah penundaan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Meskipun UU PTUN Pasal 55 memberikan batas waktu 90 hari untuk mengajukan gugatan (yang berarti sekitar 30 September dari tanggal 1 Juli), SH Terate memilih untuk menunda.

“Kenapa gugatan itu kita tunda tadi? Karena ada beberapa alasan administrasi di sini,” jelas Kang Mas Mariano.

Alasan utamanya adalah keharusan untuk mengajukan keberatan terlebih dahulu. Jika keberatan ditolak, barulah ada banding.

Namun, jika Kemenkumham mendiamkan keberatan tersebut dalam waktu 10 hari, sesuai Pasal 77 ayat 4 UU Administrasi, maka keberatan dianggap dikabulkan. Ini yang disebut sebagai “fiktif positif” dalam gugatan.

“Jadi poin kita adalah badan hukum kita itu dalam persoalan sedang dikabulkan,” tegas Kang Mas Mariano.

Dengan demikian, SH Terate berencana untuk mengajukan gugatan fiktif positif di pertengahan September, dengan harapan bahwa diamnya Kemenkumham akan menjadi dasar hukum yang kuat.

Selain itu, laporan ke Ombudsman juga telah diterima dan mulai diperiksa sejak 26 Agustus, yang diharapkan akan memberikan rekomendasi kuat mengenai adanya maladministrasi oleh Kemenkumham.

Strategi ini dirancang untuk memastikan bahwa gugatan yang diajukan SH Terate memiliki dua poin positif yang kuat: pertama, adanya fiktif positif dari Kemenkumham yang mendiamkan keberatan, dan kedua, adanya kekuatan dari Ombudsman yang menyatakan terjadinya maladministrasi.

“Ini yang nantikan rencana akan kita lakukan gugatan ke depan,” pungkas Kang Mas Mariano, menunjukkan keyakinan SH Terate dalam menghadapi pertarungan hukum ini demi memulihkan status badan hukum mereka.