Peristiwa

Tak Akui Fakta, Tagihan PBB Blitar Naik 300 persen, Bapenda Bilang Cuma 1,48 persen

×

Tak Akui Fakta, Tagihan PBB Blitar Naik 300 persen, Bapenda Bilang Cuma 1,48 persen

Sebarkan artikel ini
Tak Akui Fakta, Tagihan PBB Blitar Naik 300 persen, Bapenda Bilang Cuma 1,48 persen

IDPOST.ID – Isu kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di Kabupaten Blitar hingga 300 persen terus berhembus, meski Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) bersikeras menyangkalnya.

Klaim Bapenda bahwa kenaikan hanya 1,48 persen berbenturan dengan bukti tagihan warga yang melonjak drastis, memunculkan tanda tanya besar: apakah pemerintah daerah mengabaikan fakta di lapangan?

Kepala Bapenda Kabupaten Blitar, Asmaning Ayu, membantah kenaikan signifikan dengan menyatakan bahwa kenaikan PBB 2025 hanya Rp702,9 juta (1,48%) dari total ketetapan sebelumnya. Namun, bukti dari warga justru menunjukkan hal sebaliknya.

Seorang warga Kelurahan Tawangsari memperlihatkan tagihan PBB-nya yang naik dari Rp10.000–Rp13.000 menjadi Rp55.723 lonjakan lebih dari 300%.

“Ini tidak wajar. Tiba-tiba naik ratusan persen tanpa penjelasan yang jelas,” protesnya.

Bapenda beralasan bahwa kenaikan berasal dari pembaruan Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak (SISMIOP) dan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) di wilayah dengan pertumbuhan ekonomi pesat. Namun, warga menilai langkah ini tidak disertai transparansi dan sosialisasi memadai.

“Jika memang ada kenaikan, mengapa tidak diumumkan secara terbuka? Kenapa banyak warga yang baru tahu setelah tagihan datang?” tanya warga Tawansari.

Selain itu, Asmaning Ayu juga mengucapkan kata-kata bernada umpatan kepada wartawan yang meliput kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) hingga 300 persen.

Kejadian itu terjadi dalam konferensi pers salah satu rumah makan yang ada di Jatinom, Sabtu, 16 Agustus 2025.

Dalam forum yang seharusnya menjadi ruang dialog, Asmaning justru menggunakan bahasa Jawa kasar yang mengandung ancaman:

“Tekono sing gae berita kuwi, tak slentik kowe suwi-suwi…”
“Ojo gae judul bombastis, dirimu tak slentik ngko…”
“Nggunggahne ojo ngono, tak bandem we ngko…”

Frasa “tak slentik” dan “tak bandem” dalam konteks Jawa dianggap sebagai ancaman fisik. Yang lebih memprihatinkan, ucapan bernada intimidasi itu justru disambut tawa oleh beberapa peserta yang hadir.