Tunjangan Fantastis DPRD Banyumas Disorot: Aktivis Nilai Tidak Wajar dan Berlebihan

Tunjangan Fantastis DPRD Banyumas Disorot: Aktivis Nilai Tidak Wajar dan Berlebihan

IDPOST.ID – Penghasilan fantastis yang diterima anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Banyumas menuai sorotan.

Forum Banyumas Bersuara menilai besaran tunjangan, terutama tunjangan perumahan, sangat tidak wajar dan tidak mencerminkan asas kepatutan.

Aktivis perempuan dan pemerhati kebijakan publik, Aan Rohaeni SH, yang merupakan pegiat forum tersebut, menyatakan ketimpangan antara pendapatan wakil rakyat dan konstituennya sungguh timpang.

“Wakil rakyat seharusnya tidak memiliki penghasilan yang terlalu jomplang dengan rakyat. Pendapatan Ketua DPRD saja bisa mencapai Rp72 juta per bulan, belum termasuk tunjangan reses, alat kelengkapan dewan, dan kunjungan kerja,” ujar Aan, Minggu (14/9/2025).

Tunjangan Perumahan Jadi Sorotan Utama

Aan menyoroti tunjangan perumahan sebagai komponen yang paling tidak rasional. Menurutnya, realisasi tunjangan yang mencapai Rp42 juta per bulan sangatlah absurd.

“Di Banyumas, kontrakan paling mahal di kawasan Taman Anggrek saja hanya sekitar Rp120 juta per tahun. Jadi tidak masuk akal jika tunjangan perumahan anggota dewan sebesar itu per bulannya,” tegasnya.

Ia juga mengungkap sederet fasilitas lain yang dinilai berlebihan, seperti tunjangan komunikasi intensif Rp14,7 juta per bulan, tunjangan operasional pimpinan Rp12 juta, serta pembebasan pajak penghasilan yang ditanggung APBD.

“Sudah penghasilannya bebas pajak, tunjangannya juga fantastis. Padahal sebagian besar anggota DPRD Banyumas sudah memiliki rumah pribadi,” tambah Aan.

Desak Transparansi dan Efisiensi Anggaran

Data forum tersebut menunjukkan rata-rata penghasilan anggota dewan mencapai Rp53,6 juta per bulan. Angka ini, menurut Aan, sangat tidak sepadan dengan UMK Banyumas yang berkisar Rp3 juta.

“Pendapatan Ketua DPRD itu sekitar 30 kali lipat UMK. Ini belum termasuk tunjangan reses yang bisa Rp14,7 juta per kegiatan. Untuk apa tunjangan sebesar itu kalau kinerjanya kita semua tahu,” tandasnya.

Ia mendesak agar standar tunjangan segera disesuaikan dengan harga pasar dan kondisi riil masyarakat. “Kalau masyarakat disuruh berhemat, masa tunjangan perumahan dewan bisa empat sampai lima kali lipat dari harga pasar? Ini tidak wajar,” pungkas Aan.

Akademisi Soroti Minimnya Sosialisasi

Merespons hal ini, akademisi Universitas Jenderal Soedirman, Dr. Tri Wuryaningsih, M.Si, menyoroti proses pembuatan regulasi yang minim sosialisasi.

“Public hearing seringkali tidak melibatkan masyarakat secara luas. Kalaupun ada, informasi tidak sampai ke publik secara menyeluruh,” ungkap Tri.

Ia menegaskan, di tengah kondisi ekonomi yang belum pulih, wakil rakyat harusnya mengedepankan asas kepatutan dalam fungsi anggarnya.